Muhibbin Prof. Dr. Al Muhadits Al Allamah Abuya Sayyid Muhammad bin 'Alawi Al Maliki Al Hasani

Perbedaan Antara Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dholalah

Dapatkan beragam kitab-kitab Karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani di website www.kitababuya.com

Perbedaan Antara Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dholalah - Diantara mereka yang mengklaim memahami hakikat suatu permasalahan adalah orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai pengikut salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara yang tidak etis, kurang ilmu, fanatic buta, pemikiran-pemikiran yang kosong, dan pemahaman yang dangkal. Mereka tidak toleran dengan memerangi apa yang mereka sebut ‘hal yang baru’ dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya. Padahal, spirit syari’ah Islam mengharuskan kita untuk membedakan bid’ah yang bentuknya bermacam-macam sebagaimana dipahami oleh para ulama bahwa sebagai bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk. Klasifikasi ini lahir dari akal yang sehat dan pandangan yang dalam terhadap suatu persoalan.



Pembagian bid’ah ini merupakan hasil kajian mendalam dari para sarjana ushul fikih generasi islam terhadahulu, seperti al-Imam al-‘Izz Ibnu ‘Abdissalam, al-Nawaawi, al-Suyuthi, al-Mahalli dan Ibnu Hajar.
Perlu dipahami bahwa, hadits-hadits Nabi itu berkaitan, saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka, untuk menilai satu hadits, harus dilakukan dengan penilaian yang utuh dan komperehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan semangat dan persepsi syariah yang telah legitimasi dari para alim ulama.

Oleh karena itu kita menemukan banyak hadits di mana dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, pikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitive yang digali dari samudera syaiah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang saling mengikat.

Salah satu contoh dari hadits yang berkaitan persoalan ini adalah hadits

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Setiap bid’ah itu sesat.

Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid;ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i
Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti,

لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِيْ الْمَسْجِدِ
Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.

Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan yaitu tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid. Namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna, bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama, dan juga seperti hadits,

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ
Tidak (sempurna) sholat dihadapan makanan

Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna, sebagaimana makna hadits berikut ini.

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang
ia cintai untuk dirinya.

وَاللهِ لَايُؤْمِنُ وَاللهِ لَايُؤْمِنُ وَاللهِ لَايُؤْمِنُ، قِيْلَ: مَنْ يَارَسُولَ اللهِ ؟ قَالَ: مَنْ لَمْ يَأْ مَنْ جَارُهُ بِوَائِقَهُ
Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah?” Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya.

Para ulama menafsirkan hadits-hadits tersebut di atas dengan tidak adanya iman yang sempurna. Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah dalam hadits:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ...............، لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وَعَاقٌ لِوَالِدَيْهِ
Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba…. Tidak akan masuk surga orang yang memutus hubungan kerabat, dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan.
Walhasil, para ulama tidak memahami hadits diatas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai dengan pemahaman sebenarnya dengan mengaikatn hadits satu dengan hadits lainnya.
Hadits diatas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum.

Dalam sebuah hadits dijelaskan

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بَهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Siapa pun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai akhirat.

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ
Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafat.

‘Umar ibn al-Khattab berkomentar mengenai sholawat tarawih, sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)”

Sumber: Kitab Mafahim Yajibu Antuhshohah

Perbedaan Antara Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dholalah Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Agus Candra Kurniawan

0 komentar:

Post a Comment