Muhibbin Prof. Dr. Al Muhadits Al Allamah Abuya Sayyid Muhammad bin 'Alawi Al Maliki Al Hasani

Pematangsiantar: Dari Pusat Kerajaan Hingga Menjadi Kota Otonom

Dapatkan beragam kitab-kitab Karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani di website www.kitababuya.com




Setiap kota di Indonesia memiliki sejarah panjang yang membentuk identitasnya. Kota Pematangsiantar, salah satu daerah penting di Provinsi Sumatera Utara, menjadi contoh nyata bagaimana perjalanan waktu mengubah wajah suatu daerah. Dari sebuah kerajaan tradisional di Simalungun hingga berstatus sebagai kota modern, Pematangsiantar menyimpan jejak sejarah yang menarik untuk ditelusuri.

Sebelum Indonesia merdeka, wilayah yang kini dikenal sebagai Kota Siantar merupakan bagian dari kerajaan. Tepatnya, Kerajaan Siantar yang termasuk dalam tujuh kerajaan di tanah Simalungun. Pusat pemerintahannya berada di Pulau Holing, yang kini masih dikenang sebagai salah satu kawasan bersejarah di kota ini.

Raja terakhir yang memimpin Kerajaan Siantar adalah Tuan Sang Naualuh Damanik, seorang penguasa dari marga Damanik. Beliau berkuasa sejak tahun 1889 hingga 1904. Sosok Sang Naualuh Damanik dikenal sebagai pemimpin yang disegani dan berperan penting dalam mempertahankan nilai-nilai adat di tengah tekanan kolonial Belanda yang mulai masuk ke wilayah Sumatera Utara.

Seiring masuknya Belanda ke tanah Simalungun, masa kejayaan kerajaan berakhir. Tahun 1907 menjadi titik penting ketika Belanda mengambil alih kekuasaan dan menghapus sistem kerajaan tradisional. Pada periode ini, posisi kontrolir Belanda yang sebelumnya berada di Perdagangan dipindahkan ke Pematangsiantar. Perubahan administratif tersebut membuat Pematangsiantar semakin berkembang pesat karena menjadi pusat aktivitas pemerintahan kolonial.

Kehadiran Belanda membawa dampak signifikan pada perkembangan kota. Banyak pendatang baru bermukim di sekitar Pulau Holing. Perkampungan mulai tumbuh di beberapa wilayah seperti Suhi Haluan, Suhi Kahean, Suhi Bah Bosar, Siantar Bayu, Pantoan, dan Tomuan. Kawasan-kawasan tersebut kemudian menjadi cikal bakal pusat-pusat pemukiman modern di Pematangsiantar.

Tahun 1910, dibentuklah Badan Persiapan Kota Pematangsiantar yang menjadi fondasi awal bagi lahirnya kota modern. Pematangsiantar kemudian ditetapkan sebagai Gemente (kota berotonomi) pada 1 Juli 1917 melalui Stadblad No. 285. Langkah ini menjadikan Pematangsiantar memiliki kewenangan lebih luas dalam mengatur wilayahnya.

Selanjutnya, pada Januari 1939, melalui Stadblad No. 717, status Pematangsiantar diperkuat dengan adanya dewan kota. Namun, ketika Jepang menduduki Indonesia, struktur pemerintahan berubah drastis. Dewan kota dibubarkan dan Pematangsiantar dijadikan “Siantar State”. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, status kota otonom kembali berlaku bagi Pematangsiantar.

Secara geografis, Pematangsiantar terletak di koordinat 2°53'20''–3°01'00'' Lintang Utara dan 99°1'00''–99°6'35'' Bujur Timur. Luas wilayahnya mencapai 79,971 km² dengan ketinggian 400–500 meter di atas permukaan laut. Kondisi geografis ini menjadikan iklim kota relatif sejuk dan mendukung perkembangan pemukiman.

Selain itu, letak Pematangsiantar sangat strategis karena menjadi jalur penghubung antara Medan dan kawasan wisata Danau Toba. Kota ini hanya berjarak sekitar 128 km dari Medan dan 50 km dari Parapat, menjadikannya transit penting bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Kota Pematangsiantar memiliki kontribusi penting dalam sejarah nasional. Salah satu tokoh besar yang lahir di sini adalah Adam Malik, Wakil Presiden Republik Indonesia ketiga. Ia lahir pada 22 Juli 1917 dan dikenal sebagai salah satu diplomat ulung yang mewakili Indonesia di dunia internasional.

Tidak hanya melahirkan tokoh besar, Pematangsiantar juga dikenal karena prestasinya dalam menjaga lingkungan dan tata kota. Pada tahun 1993, kota ini berhasil meraih Piala Adipura. Tiga tahun kemudian, tepatnya 1996, Pematangsiantar dianugerahi Piala Wahana Tata Nugraha sebagai penghargaan atas keteraturan sistem lalu lintas.

Sebagai kota dengan perkembangan pesat, Pematangsiantar dihuni oleh beragam etnis. Mulai dari Batak Simalungun sebagai penduduk asli, Batak Toba, Batak Karo, Mandailing, Melayu, Nias, hingga Jawa. Keberagaman ini melahirkan harmoni sosial yang terus terjaga hingga kini.

Motto kota ini, “Sapangambei Manoktok Hitei”, yang berasal dari bahasa Simalungun, berarti saling bergotong royong demi mencapai tujuan mulia. Filosofi ini menjadi cerminan karakter masyarakat Pematangsiantar yang menjunjung tinggi persatuan.

Pematangsiantar juga memiliki ikon transportasi khas yang terkenal hingga mancanegara, yaitu becak bermotor. Uniknya, becak di kota ini menggunakan sepeda motor Birmingham Small Arms (BSA) buatan Inggris berkapasitas 500 cc. Suara khas dari mesin tua tersebut menjadikan becak Siantar sebagai daya tarik wisata budaya yang unik.

 

Dari kerajaan tradisional hingga menjadi kota modern, Pematangsiantar terus berkembang seiring perubahan zaman. Sejarah panjangnya menjadi fondasi identitas masyarakat yang majemuk dan terbuka. Dengan posisi strategis serta kekayaan budaya, Pematangsiantar bukan hanya menjadi gerbang menuju Danau Toba, tetapi juga sebuah kota bersejarah yang layak mendapat perhatian lebih di tingkat nasional. (*)

 


Pematangsiantar: Dari Pusat Kerajaan Hingga Menjadi Kota Otonom Rating: 4.5 Diposkan Oleh: satria pixel