MuhibbinAbuya.Com - Diantara salah seorang murid As-Sayyid Alawi Al Maliki yang selalu aktif menghadiri pengajian beliau di Rawaq Babus Salam Masjidil Haram adalah Ahmad Khairu. Bahkan boleh dikatakan ia tak ubahnya seperti tiang majlis pengajian As-Sayyid Alawi, Karena it tidak pernah absesn dalam majlis tersebut meski dalam keadaaan bagaimanapun, kecuali jika ia sedang menderita sakit parah seperti cerita berikut:
Suatu ketika, Ahmad Khairu absen dalam pengajian As-Sayyid Alawi. Sebagai guru teladan yang perhatian terhadap muridnya, tentu saja beliau menanyakan kepada para hadirin yang lain atas ketidak hadiran Ahmad Khairu ini, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang dapat memberikan jawaban yang pasti kepada beliau. Kessokan harinya, beliau kembali bertanya, dan mereka pun memberikan jawaban yang sama. Baru pada hari ketiga, setelah As Sayyid Alawi menyelesaikan pengajiannya, beliau mengajak salah seorang muridnya untuk menemani beliau menjenguk si murid yang absen tiga hari itu.
Bersama si murid, beliau memasuki gang demi gang dan bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai tentang sosok yang bernama Ahmad Khairu, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenalnya, apalagi menunjukkan tempat tinggalnya. Setelah lama mencari, akhirnya beliau bertemu dengan sekumpulan remaja yang sedang bermain sepak bola.
Didorong rasa hormat dan takzhim kepada ulama kawakan ini, maka para remaja tersebut berhenti sejenak untuk memberi jalan kepada beliau agar dapat melintas dengan aman dan tenang. Melihat rasa hormat yang mereka tunjukkan, maka sebagai bentuk jabran lil khatir (menghormati perasaan), beliau menyempatkan diri bertanya kepada mereka tentang sosok si Ahmad Khairu ini. Justru, di saat itulah beliau mendapatkan jawaban yang pasti mengenai sosok Ahmad Khairu yang sebenarnya, meskipun dengan pembicaraan yang agak berbelit-belit.
Pasalnya, ketika As-Sayyid Alawi menanyakan sosok si Ahmad Khairu kepada mereka, tidak ada satu pun dari mereka yang mengenalnya. Akan tetapi, ketika mereka menanyakan ciri-ciri dari si Ahmad Khairu dan As Sayyid Alawi menerangkannya kepada mereka bahwa ia memiliki postur tubuh yang besar, selalu memakai Ghubanah (Serban ala Masyarakat Hijaz), dan sering memegang tongkat di tangannya, maka salah seorang dari mereka secara spontan menebak, “Oh, ‘Am Ahmad Barrihluh. Iya, saya tahu orangnya”. Mendengar nama asing itu, As Sayyid Alawi bertanya penasaran, “Kenapa ia diberi julukan seperti itu?” Mereka menjawab, “Begini ceritanya, wahai Sayyid. Suatu hari, ketika kami sedang bermain bola seperti saat ini, tiba-tiba ia datang hendak melintasi kami, tetapi tidak ada seorang pun dari kami yang menggubrisnya. Melihat situasi seperti itu, ia pun marah. Dengan gaya sambil mengangkat kepala dan menegakkan dada layaknya orang sombong, ia berteriak keras kepada kami, “Berhenti semua! Barrih Lii=Luaskan jalan buat saya, agar saya bisa melintas!” Sejak itulah ia dijuluki “Ahmad Barrihluh”. Lambat laun, nama itu menjadi terkenal di kampong ini, hingga ia tidak lagi dipanggil dengan nama aslinya, melainkan dengan panggilan “Barrihluh”.
Diantara hikmah yang dapat dipetik dari cerita ini adalah: (1) Para remaja di perkampungan Mekkah sangat menghormati ulama dan orang tua. Terbukti, mereka mau berhenti dari permainannya demi memberikan jalan kepada seorang ulama yang hendak melintas; dan (2) Diperbolehkan memanggil seseorang dengan julukan yang kurang nyaman selama orang yang diberi julukan tersebut tidak marah, apalagi ia memang dikenal dengan julukan itu.
Sumber: Majalah Mafahim edisi 45 hal 48
(Habib Musthofa bin Husain Al Jufri – Santri Senior Sayyid Muhammad Al Maliki Al Hasani, Pengasuh Rubath “At-Thomuhi Al Jufri Sumenep)